“duh lihat tuh yang pacaran, dunia serasa milik berdua, yang lain cuma ngontrak”, mungkin banyak diantara kita yang pernah mendengar pernyataan seperti itu, atau juga pernah mengatakannya.
3 Maret 2016 ini saya sudah 13 tahun pacaran dengan orang yang sama dan hubungan kami cukup LDR-long distance relationship. Jarak mulai dari Bandung – Jatinangor, Jakarta – Yogyakarta, lalu Indonesia - Swedia, apakah bosan, pernah putus, sering berantem? Hmm, tampaknya itu semua tidak tercatat di kamus hubungan kami. Apa rahasianya? Hal yang paling utama adalah “percaya”. "Kasih itu percaya segala sesuatu, dalam kasih tidak ada ketakutan."
Jika mengingat saat dimana kita mengawali hubungan, rasanya tidak terpikirkan akan menjadi selama dan semenyenangkan ini. Awalnya saya adalah orang yang sangat mengutamakan quality time, dalam artian yang kurang tepat..kemana-mana harus berdua, telepon tiap hari dan bisa berjam-jam, dan menghabiskan waktu banyak-banyak bersama sang kekasih, kalau bisa di tempat yang ga ada orang lain lagi (di kuburan kali ya..sepi dan ga ada orang). Namun, si cinta menerapkan hal yang berbeda pada saya, dia sering mengajak saya ke rumahnya dan makan disana, ngobrol bersama orang tuanya dan anggota keluarga yang lain. Awalnya saya merasa sangat tidak nyaman, seperti di-interogasi dan jadi tidak bisa “mesra-mesraan”. Begitu juga kalau pergi ke kafe atau nonton bioskop, seringkali ada orang lain bersama kami, entah itu teman atau keponakan. Wah..rasanya zona nyaman saya terganggu..pacaran macam apa ini?
Tapi makin lama saya makin menyadari, bahwa pengertian quality time itu tidak harus selalu berdua dan eksklusif, namun saat kita nyaman melakukan sesuatu dalam kondisi yang sama. Misalnya saat merayakan ulang tahun mamanya, pagi-pagi kami bersama-sama ke pasar membeli bahan masakan; kami adalah saya, si cinta, dan ibunya. Sorenya, saya bantu beliau memasak dan mempersiapkan makanan, sedangkan si cinta ngobrol menemani para tamu yang datang, kami merasa bahagia bersama, dapat memberikan waktu kami pada orang yang sama-sama kami kasihi, Sang Ibunda.
Begitu pula dengan teman-teman, dulu saya begitu anti sosial, berpikir bahwa kumpul-kumpul itu buang-buang waktu, tapi makin lama saya mulai membuka diri dan mulai mau ikut berkumpul bersama. Ternyata dari situ saya bisa makin dekat dengan teman-teman, dan mereka mulai curhat mengenai beban hidup yang dialami. Curhat pada kami berdua..terutama jika masalah menyangkut pedekate atau naksir lawan jenis, terlebih dari itu tidak jarang mereka menceritakan luka hati mereka terhadap orang tua, dan bagaimana hidup mereka menjadi tertekan. Kami berdua seperti layaknya tempat konseling bagi mereka. Menyenangkan! Teman-teman pun menjadi nyaman berada dekat kami.
Bagaimana dengan komunikasi? Awalnya kami bertelepon setiap hari, namun karena profesi saya perawat, saya tidak bisa setiap saat mengangkat telepon saat bertugas. Makin lama kami bisa hanya berkirim pesan lewat whatsapp, bisa hanya seminggu sekali dan bertukar cerita selama seminggu. Juga dengan perbedaan waktu yang cukup signifikan, kami sesekali bertelepon via skype. Apakah hal itu mengganggu? Beberapa waktu saat galau menyerang dan tidak bisa langsung bertelepon memang cukup berat, namun hal itu tidak menjadi masalah berkepanjangan, saya bersyukur ada Pribadi yang bisa setiap saat saya curhatin, yaitu Tuhan, dan Dia hanya sejauh doa.
“ih, kalau pacaran kayak gitu ya bukan pacaran, tapi temenan” ada juga orang yang bicara seperti itu, tapi hal yang menguatkan datang dari salah satu teman kami “kalian unik ya pacarannya, yang kulihat dari pacarmu itu bisa jadi sahabat, kakak, dan bapak” yah, itulah hasil dari proses yang kami jalani, penuh dengan latihan melepaskan zona nyaman dan keegoisan kami. Apakah kami punya waktu untuk berdua saja? Tentu saja masih ada! Hal yang paling romantis menurut saya adalah ketika kami bersama menikmati minum kopi di kafe dengan sofa dan bantal, ditambah dengan alunan music lounge, menceritakan tentang segala sesuatu tanpa merasa bosan, atau membawa papan catur kecil dan berusaha memenangkan permainan.
Pacaran yang eksklusif itu menurut saya itulah yang membawa kepada kebosanan, karena lama-lama cerita tentang berdua bisa habis, atau membawa kepada konflik karena karakter dan kebiasaan yang berbeda. Juga makin lama bisa makin kehilangan teman dan keluarga karena sikap eksklusif tersebut dapat membuat orang lain kurang nyaman. Secara kontras, saat saya dan si cinta bersama memperhatikan orang lain sekitar kita, mendukung mereka, mendoakan mereka, hadir saat mereka memerlukan, itulah yang mewarnai dan memperkuat hubungan kami. Jadi, bukanlah intensitas bertemu dan waktu yang dihabiskan berdua yang membuat hubungan kita tetap baik, hal yang terutama yang membuat kami bisa seperti ini adalah karena kami mencintai Pribadi yang sama, yaitu Tuhan, padaNya lah kami mempersembahkan hubungan kami.
3 Maret 2016 ini saya sudah 13 tahun pacaran dengan orang yang sama dan hubungan kami cukup LDR-long distance relationship. Jarak mulai dari Bandung – Jatinangor, Jakarta – Yogyakarta, lalu Indonesia - Swedia, apakah bosan, pernah putus, sering berantem? Hmm, tampaknya itu semua tidak tercatat di kamus hubungan kami. Apa rahasianya? Hal yang paling utama adalah “percaya”. "Kasih itu percaya segala sesuatu, dalam kasih tidak ada ketakutan."
Jika mengingat saat dimana kita mengawali hubungan, rasanya tidak terpikirkan akan menjadi selama dan semenyenangkan ini. Awalnya saya adalah orang yang sangat mengutamakan quality time, dalam artian yang kurang tepat..kemana-mana harus berdua, telepon tiap hari dan bisa berjam-jam, dan menghabiskan waktu banyak-banyak bersama sang kekasih, kalau bisa di tempat yang ga ada orang lain lagi (di kuburan kali ya..sepi dan ga ada orang). Namun, si cinta menerapkan hal yang berbeda pada saya, dia sering mengajak saya ke rumahnya dan makan disana, ngobrol bersama orang tuanya dan anggota keluarga yang lain. Awalnya saya merasa sangat tidak nyaman, seperti di-interogasi dan jadi tidak bisa “mesra-mesraan”. Begitu juga kalau pergi ke kafe atau nonton bioskop, seringkali ada orang lain bersama kami, entah itu teman atau keponakan. Wah..rasanya zona nyaman saya terganggu..pacaran macam apa ini?
Tapi makin lama saya makin menyadari, bahwa pengertian quality time itu tidak harus selalu berdua dan eksklusif, namun saat kita nyaman melakukan sesuatu dalam kondisi yang sama. Misalnya saat merayakan ulang tahun mamanya, pagi-pagi kami bersama-sama ke pasar membeli bahan masakan; kami adalah saya, si cinta, dan ibunya. Sorenya, saya bantu beliau memasak dan mempersiapkan makanan, sedangkan si cinta ngobrol menemani para tamu yang datang, kami merasa bahagia bersama, dapat memberikan waktu kami pada orang yang sama-sama kami kasihi, Sang Ibunda.
Begitu pula dengan teman-teman, dulu saya begitu anti sosial, berpikir bahwa kumpul-kumpul itu buang-buang waktu, tapi makin lama saya mulai membuka diri dan mulai mau ikut berkumpul bersama. Ternyata dari situ saya bisa makin dekat dengan teman-teman, dan mereka mulai curhat mengenai beban hidup yang dialami. Curhat pada kami berdua..terutama jika masalah menyangkut pedekate atau naksir lawan jenis, terlebih dari itu tidak jarang mereka menceritakan luka hati mereka terhadap orang tua, dan bagaimana hidup mereka menjadi tertekan. Kami berdua seperti layaknya tempat konseling bagi mereka. Menyenangkan! Teman-teman pun menjadi nyaman berada dekat kami.
Bagaimana dengan komunikasi? Awalnya kami bertelepon setiap hari, namun karena profesi saya perawat, saya tidak bisa setiap saat mengangkat telepon saat bertugas. Makin lama kami bisa hanya berkirim pesan lewat whatsapp, bisa hanya seminggu sekali dan bertukar cerita selama seminggu. Juga dengan perbedaan waktu yang cukup signifikan, kami sesekali bertelepon via skype. Apakah hal itu mengganggu? Beberapa waktu saat galau menyerang dan tidak bisa langsung bertelepon memang cukup berat, namun hal itu tidak menjadi masalah berkepanjangan, saya bersyukur ada Pribadi yang bisa setiap saat saya curhatin, yaitu Tuhan, dan Dia hanya sejauh doa.
“ih, kalau pacaran kayak gitu ya bukan pacaran, tapi temenan” ada juga orang yang bicara seperti itu, tapi hal yang menguatkan datang dari salah satu teman kami “kalian unik ya pacarannya, yang kulihat dari pacarmu itu bisa jadi sahabat, kakak, dan bapak” yah, itulah hasil dari proses yang kami jalani, penuh dengan latihan melepaskan zona nyaman dan keegoisan kami. Apakah kami punya waktu untuk berdua saja? Tentu saja masih ada! Hal yang paling romantis menurut saya adalah ketika kami bersama menikmati minum kopi di kafe dengan sofa dan bantal, ditambah dengan alunan music lounge, menceritakan tentang segala sesuatu tanpa merasa bosan, atau membawa papan catur kecil dan berusaha memenangkan permainan.
Pacaran yang eksklusif itu menurut saya itulah yang membawa kepada kebosanan, karena lama-lama cerita tentang berdua bisa habis, atau membawa kepada konflik karena karakter dan kebiasaan yang berbeda. Juga makin lama bisa makin kehilangan teman dan keluarga karena sikap eksklusif tersebut dapat membuat orang lain kurang nyaman. Secara kontras, saat saya dan si cinta bersama memperhatikan orang lain sekitar kita, mendukung mereka, mendoakan mereka, hadir saat mereka memerlukan, itulah yang mewarnai dan memperkuat hubungan kami. Jadi, bukanlah intensitas bertemu dan waktu yang dihabiskan berdua yang membuat hubungan kita tetap baik, hal yang terutama yang membuat kami bisa seperti ini adalah karena kami mencintai Pribadi yang sama, yaitu Tuhan, padaNya lah kami mempersembahkan hubungan kami.